KONSEP KAFAAH HUKUM ISLAM
Konsep Kafa'ah
Riwayat Bazar dari Muadz bin Jabal bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Golongan Syafi’i maupun golongan Hanafi, mengukur kufu’ dengan keturunan seperti tersebut diatas . Tetapi mereka berbeda pendapat, apakah bagi orang Quraisy satu dengan lainnya ada kelebihan. Golongan Hanafi berpendapat orang Quraisy kufu’ dengan
Bani Hasyim. Adapun golongan Syafi’i berpendapat bahwa Quraisy tidak sekufu’ dengan perempuan bani Hasyim dan Bani Munthalib.
Diriwayatkan oleh Syafi’i dan kebanyakan muridnya bahwa kufu’ sesama bangsa-bangsa bukan Arab, di ukur dengan bagaimana keturunan-keturunan mereka dengan diqiaskan kepada antara suku-suku bangsa Arab dengan yang lainnya. Karena mereka juga menganggap tercela apabila seorang perempuan dari satu suku kawin dengan laki-laki dari lain suku yang lebih rendah nasabnya. Jadi hukumnya sama dengan hukum yang berlaku dikalangan bangsa Arab karena sebabnya adalah sama.
Menurut Imam Syafi’i sepatutnyalah perempuan sederajat dengan laki-laki tentang menjaga kehormatan dan kesuciannya. Maka perempuan yang baik sederajat dengan laki-laki yang baik dan tidak sederajat dengan laki-laki yang fasik (pezina, pejudi, pemabuk dsb). Perempuan yang fasik sederajat dengan laki-laki yang fasik. Perempuan pezina sederajat dengan laki-laki pezina. Imam Hambali memiliki pendapat yang sama dengan Imam Syafi’i demikian juga dengan Imam Hanafi perbedaan keduanya ada beberapa perkara.
Perempuan yang sholeh dan bapaknya fasik, lalu ia menikah dengan laki-laki fasik, maka pernikahan itu sah dan bapaknya tidak berhak membantah (membatalkan) pernikahan, karena ia sama-sama fasik dengan laki-laki itu. Demikian menurut Imam Hanafi. Menurut Imam hanafi yang dimaksud fasik ialah : orang yang mengerjakan dosa besar dengan terang-terangan. Atau orang yang mengerjakan dosa besar dengan bersembunyi, tetapi diberitahukannya kepada teman-temannya, bahwa ia berbuat demikian.
Pendapat Imam Maliki ini dianggap oleh sebagian ulama kontemporer sesuai dengan kondisi zaman sekarang, yaitu zaman demokrasi, zaman sama rata, sama rasa. Bahwa manusia itu sebenarnya sama baik miskin, kaya, berpangkat, rakyat jelata, keturunan bangsawan dan sebagainya adalah sederajat. Hanya yang membuat manusia mempunyai derajat tinggi dari yang lain yaitu karena taqwanya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
Menurut Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali bahwa perempuan merdeka hanya sederajat dengan laki-laki merdeka dan tidak sederajat dengan laki-laki budak. Laki-laki budak yang sudah dimerdekakan, tidak sederajat dengan perempuan yang merdeka sejak lahirnya. Sedangkan Imam Maliki masih dalam pendirian semula bahwa merdeka tidak menjadi syarat kafa’ah.
Waktu Berlakunya Kafa’ah
Islam adalah agama yang fitrah yang condong kepada kebenaran. Islam tidak membuat aturan tentang kafa’ah tetapi manusilah yang menetapkannya, karena itulah mereka berbeda pendapat tentang hukum kafa’ah.
Kadar untuk menentukan seorang pria itu sederajat atau sepadan dengan
dengan seorang wanita atau dengan sebaliknya, hal ini disebabkan
perbedaan kadar intelektual, latar belakang dan kondisi dimana mujtahid
itu hidup. Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat: Imam Hanafi, Imam
Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hambali mengenai kafa’ah.
a. Nasab (keturunan)
Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan lainnya. Begitu
pula halnya dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena itu
orang yang bukan Arab tidak sekufu’ dengan perempuan Arab. Orang arab
tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu’ dengan/bagi perempuan
Quraisy, alasannya adalah sebagai berikut:
Riwayat Bazar dari Muadz bin Jabal bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ: الَعَرَبُ
بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ أَكْفَاءُ وَ المَوَاليِ بَعْضُهُمْ أَكْفَاءُ
لِبَعْضٍ، اِلاَّ حَائِكًا أَوْحَجَامًا. رَوَاهُ الْحَاكِمْ، وَفِي
إْسِنَادِهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمَّ، وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُوْحَاتِمْ. وَلَهُ
شَاهِدٌ عِنْدَ الْبَزَّارِ عَنْ مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ بِسَنَدٍ مُنْقَطِعٍ.
Artinya: “ Orang Arab adalah kufu’ bagi lainnya, orang Mawali kufu dengan Mawali lainnya kecuali tukang bekam”. (HR. Al Bazaar)
Golongan Syafi’i maupun golongan Hanafi, mengukur kufu’ dengan keturunan seperti tersebut diatas . Tetapi mereka berbeda pendapat, apakah bagi orang Quraisy satu dengan lainnya ada kelebihan. Golongan Hanafi berpendapat orang Quraisy kufu’ dengan
Bani Hasyim. Adapun golongan Syafi’i berpendapat bahwa Quraisy tidak sekufu’ dengan perempuan bani Hasyim dan Bani Munthalib.
Diriwayatkan oleh Syafi’i dan kebanyakan muridnya bahwa kufu’ sesama bangsa-bangsa bukan Arab, di ukur dengan bagaimana keturunan-keturunan mereka dengan diqiaskan kepada antara suku-suku bangsa Arab dengan yang lainnya. Karena mereka juga menganggap tercela apabila seorang perempuan dari satu suku kawin dengan laki-laki dari lain suku yang lebih rendah nasabnya. Jadi hukumnya sama dengan hukum yang berlaku dikalangan bangsa Arab karena sebabnya adalah sama.
b. Agama
Semua ulama fiqih (Hanafiyah, Syafi’iyah, Malikiyah, Hambaliyah) sepakat memasukkan agama dalam kafa’ah. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
عَنْ
أَبِي حَاتِمٍ الْمُزَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ
فَأَنْكِحُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ قَالَ إِذَا جَاءَكُمْ
مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ (راوه
الترميذي وأحمد)
Artinya: “ Dan dari Abi Hasim al Muzni ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda: Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk meminang)
orang yang kamu ridhoi agama dan budi pekertinya, maka kawinkanlah dia,
apabila tidak kamu lakukan, maka akan menimbulkan fitnah dan kerusakan
di muka bumi. Mereka bertanya, “ Apakah meskipun.....” Rasulullah SAW
menjawab, “ Apabila datang kepadamu orang yang engkau ridhoi agama dan
budi pekertinya, maka nikahkanlah dia.” (Beliau mengucapkannya sabdanya
sampai tiga kali). (HR At-Tirmidzi dan Ahmad)
Dalam hadits ini, titahnya ditujukan kepada para wali agar mereka
mengawinkan perempuan-perempuan yang diwakilinya kepada laki-laki
peminangnya yang beragama, amanah, dan berakhlak. Jika mereka tidak mau
mengawinkan dengan laki-laki yang berakhlak luhur, tetapi memilih
laki-laki yang tinggi keturunannya, kedudukannya punya kebesaran dan
harta, berarti akan mengakibatkan fitnah dan kerusakan tak ada hentinya
bagi laki-laki tersebut.
Menurut Imam Syafi’i sepatutnyalah perempuan sederajat dengan laki-laki tentang menjaga kehormatan dan kesuciannya. Maka perempuan yang baik sederajat dengan laki-laki yang baik dan tidak sederajat dengan laki-laki yang fasik (pezina, pejudi, pemabuk dsb). Perempuan yang fasik sederajat dengan laki-laki yang fasik. Perempuan pezina sederajat dengan laki-laki pezina. Imam Hambali memiliki pendapat yang sama dengan Imam Syafi’i demikian juga dengan Imam Hanafi perbedaan keduanya ada beberapa perkara.
Perempuan yang sholeh dan bapaknya fasik, lalu ia menikah dengan laki-laki fasik, maka pernikahan itu sah dan bapaknya tidak berhak membantah (membatalkan) pernikahan, karena ia sama-sama fasik dengan laki-laki itu. Demikian menurut Imam Hanafi. Menurut Imam hanafi yang dimaksud fasik ialah : orang yang mengerjakan dosa besar dengan terang-terangan. Atau orang yang mengerjakan dosa besar dengan bersembunyi, tetapi diberitahukannya kepada teman-temannya, bahwa ia berbuat demikian.
Pendapat Imam Maliki ini dianggap oleh sebagian ulama kontemporer sesuai dengan kondisi zaman sekarang, yaitu zaman demokrasi, zaman sama rata, sama rasa. Bahwa manusia itu sebenarnya sama baik miskin, kaya, berpangkat, rakyat jelata, keturunan bangsawan dan sebagainya adalah sederajat. Hanya yang membuat manusia mempunyai derajat tinggi dari yang lain yaitu karena taqwanya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
Artinya:“ Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. ( QS. Al-Hujurat : 13)
c. Merdeka
Jumhur Ulama selain Maliki sepakat memasukkan merdeka dalam kafa’ah. Berdasarkan Firman Allah surat An-Nahl ayat 75:
*
Artinya:“ Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap suatupun dengan seorang
yang kami beri rizki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagaian
dari rizkqi itu secara sembunyi atau terang-terangan adakah mereka itu
sama”. (QS: An-Nahl:75)
Menurut Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali bahwa perempuan merdeka hanya sederajat dengan laki-laki merdeka dan tidak sederajat dengan laki-laki budak. Laki-laki budak yang sudah dimerdekakan, tidak sederajat dengan perempuan yang merdeka sejak lahirnya. Sedangkan Imam Maliki masih dalam pendirian semula bahwa merdeka tidak menjadi syarat kafa’ah.
d. Pekerjaan
Jumhur Ulama selain Maliki sepakat memasukkan pekerjaan dalam kafa’ah, berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ: الَعَرَبُ
بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ أَكْفَاءُ وَ المَوَاليِ بَعْضُهُمْ أَكْفَاءُ
لِبَعْضٍ، اِلاَّ حَائِكًا أَوْحَجَامًا. رَوَاهُ الْحَاكِمْ، وَفِي
إْسِنَادِهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمَّ، وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُوْحَاتِمْ. وَلَهُ
شَاهِدٌ عِنْدَ الْبَزَّارِ عَنْ مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ بِسَنَدٍ مُنْقَطِعٍ.
Artinya: “ Orang Arab adalah kufu’ bagi lainnya, orang Mawali kufu dengan Mawali lainnya kecuali tukang bekam”. (HR. Al Bazaar)
Hadits diatas menjelaskan bahwa pekerjaan terhormat sekufu’ dengan pekerjaan terhormat. Karena orang-orang yang mempunyai pekerjaan terhormat , menganggap sebagai suatu kekurangan
jika anak perempuan mereka dijodohkan dengan lelaki yang pekerja kasar,
seperti tukang bekam, penyamak kulit, tukang sapu dan kuli. Karena
kebiasaan masyarakat memandang pekerjaan tersebut demikian, sehingga
seolah-olah hal ini menunjukkan nasabnya kurang.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara harta dan
pekerjaan. Semua itu dapat berubah sesuai takdir Tuhan. Pekerjaan bagi
golongan Malikiyah merupakan hal yang biasa dan tidak perlu dimasukkan
dalam kafa’ah.
e. Kekayaan/ Harta
Para ulama madzhab Syafi’i berbeda pendapat tentang perlunya
kesepadanan dalam hal kekayaan. Sebagian mereka tidak menganggapnya,
mengingat bahwa harta
Tidak dapat dijadikan dasar kebanggaaan bagi orang-orang yang
berkepribadian tinggi. Akan tetapi, sebagian yang lain berpendapat bahwa
kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu’ karena kekayaan itu sifatnya
timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang berbudi luhur tidaklah
mementingkan kekayaan.
Golongan Hanafi menganggap bahwa kekayaan menjadi ukuran kufu’.
Dan ukuran kekayaan disini yaitu memiliki harta untuk membayar mahar
dan nafkah. Bagi orang yang tidak memiliki harta untuk membayar mahar
dan nafkah, atau salah satu diantaranya, maka dianggap tidak kufu’.
Dan yang dimaksud dengan kekayaan untuk membayar mahar yaitu sejumlah
uang yang dapat dibayarkan dengan tunai dari mahar yang diminta.
Golongan Ahmad bin Hambal juga meletakkan harta sebagai ukuran kufu’
karena kalau perempuan yang kaya bila berada ditangan suami yang
melarat akan mengalami bahaya. Sebab suami menjadi susah dalam memenuhi
nafkahnya.
f. Tidak cacat
Asy-Syafi’i dan Malikiyah menganggap tidak cacatnya seseorang sebagai ukuran kafa’ah.
Orang cacat yang memungkinkan seorang istri menuntut fasakh dianggap
tidak sekufu’ dengan orang yang tidak cacat, meskipun cacatnya tidak
menyebabkan fasakh, tetapi yang sekiranya akan membuat orang
tidak senang mendekatinya. Beda dengan pendapat ulama hanafiyah dan
hanabilah mereka tidak mengaggap bersih dari cacat sebagai ukuran kafa’ah dalam perkawinan.
Waktu Berlakunya Kafa’ah
Kafa’ah dinilai pada waktu terjadinya akad nikah. Apabila
keadaannya berubah sesudah terjadinya akad, maka tidak mempengaruhi
akad, karena syarat akad diteliti pada waktu akad. Apabila akad nikah
telah dilaksanakan dan telah terbukti bahwa calon suami mempelai
sejodoh, maka perkawinan itu telah sah dan tidak dapat diganggu gugat
tentang kesalahan dengan alasan tidak sekufu’.
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas kiranya sudah jelas bahwa ukuran kufu’
yang mutlak adalah agama dan budi pekerti (akhlaqnya) sedangkan hal-hal
yang lain seperti pekerjaan, kedudukan, nasab, dan lain-lainnya adalah
penambah keserasian.
Referensi:
-Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amani, 2002)
-Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Shananiy, Subul As-Salam Juz III Cet 1(Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1988)
-Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta : Prenada Media, 2003)
-M. Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis (Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama) (Bandung: Mizan, 2002)
-Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentera, 2000)
-Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 7 (Bandung: Al Ma’arif, 1993)
Post a Comment